Mukadimah Ketiga
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
- Rujukan dalam menafsirkan al-Qur’an
- Penunjukan makna dari suatu lafal/ungkapan
- Metode pengambilan tafsir
- Hukum menafsirkan al-Qur’an semata-mata dengan logika
- Haruskah menguji hadits dengan al-Qur’an?
[1] Rujukan Dalam Menafsirkan al-Qur’an
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa penafsiran al-Qur’an dapat diperoleh dengan bersandar kepada hal-hal berikut:
- Kalam Allah (al-Qur’an itu sendiri), yaitu suatu ayat diafsirkan oleh ayat yang lain. Karena Allah yang menurunkan al-Qur’an maka Allah pula yang paling mengetahui apa yang Dia maksud dengan firman-Nya
- Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau adalah orang yang menyampaikan wahyu Allah tersebut kepada umat manusia, maka beliau lah orang yang paling mengetahui tentang makna yang dimaksud oleh firman Allah
- Perkataan para sahabat radhiyallahu’anhum, terutama ahli tafsir diantara mereka. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka hidup. Mereka juga adalah orang-orang yang paling tulus dalam mencari kebenaran dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang menjadi sebab seorang terhalang dari taufik kepada kebenaran
- Perkataan para tabi’in yang memiliki perhatian besar terhadap periwayatan tafsir dari kalangan para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena umat manusia yang terbaik setelah para sahabat adalah para tabi’in dan mereka itu lebih bersih dari kotoran penyimpangan daripada generasi sesudah mereka. Selain itu, pada masa tabi’in juga belum terjadi banyak pergeseran dan perubahan dalam bahasa arab. Oleh sebab itulah para tabi’in lebih mendekati kebenaran dibandingkan generasi sesudah mereka. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berpaling dari madzhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka kepada pemahaman yang bertentangan dengannya maka dia adalah orang yang berbuat kekeliruan dalam hal itu, bahkan tergolong pelaku kebid’ahan, walaupun dia seorang mujtahid yang boleh jadi kesalahannya itu mendapatkan ampunan.”
- Penunjukan makna secara syari’at maupun secara bahasa yang terkandung di dalam ayat sesuai dengan konteks pembicaraannya. Apabila terdapat perbedaan antara makna suatu kata dalam istilah syari’at dan pengertian bahasa maka yang lebih didahulukan adalah pemaknaan menurut syari’at karena al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali apabila terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut memang pemaknaan secara bahasa maka makna itulah yang diambil (lihat Ushul fi at-Tafsir karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 27-29)
[2] Penunjukan Makna Dari Suatu Ungkapan
Para ulama menjelaskan, bahwa suatu lafal atau ungkapan memiliki tiga sisi penunjukan makna (dilalah), yaitu:
- Dilalah muthobaqoh; yaitu makna tersurat yang bisa langsung ditangkap dari suatu ungkapan dan menunjukkan kepada keseluruhan makna yang tercakup padanya. Misalnya, kata ‘rumah’ yang menunjukkan makna suatu bangunan lengkap dengan bagian-bagiannya.
- Dilalah tadhammun; yaitu makna tersirat yang terkandung di dalam suatu ungkapan dan hanya menunjukkan kepada sebagian makna yang tercakup padanya. Misalnya, kata ‘rumah’ yang menunjukkan keberadaan dinding, atap atau bagian rumah yang lain. Atau kata ‘buku’ yang menunjukkan kepada kertas yang merupakan bagian penyusun buku.
- Dilalah iltizam; yaitu makna tersirat yang secara tidak langsung bisa dipetik dari suatu ungkapan dan merupakan konsekuensi sesuatu ungkapan (di luar substansi ungkapan tersebut). Misalnya, nama Allah ar-Rahman yang secara muthobaqoh berarti Dzat Yang Maha Penyayang yaitu Allah itu sendiri. Adapun secara tadhammun maka nama ar-Rahman menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat rahmah/kasih sayang dan kasih sayang-Nya maha luas. Apabila dilihat secara iltizam, maka nama ar-Rahman menunjukkan bahwa syari’at yang Allah tetapkan adalah salah satu bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Selain itu, dengan dilalah iltizam -disebut juga dengan dilalah talazum– kita bisa menyimpulkan bahwa Allah ta’ala memiliki sifat hidup, berkuasa, berilmu, berkehendak, dan memiliki kebijaksanaan yang maha sempurna. Karena tidak mungkin Allah bisa mewujudkan rahmat-Nya yang begitu luas dan mencakup seluruh makhluk jika sifat-sifat itu tidak melekat pada diri-Nya (lihat al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu bi Tafsir al-Qur’an oleh Syaikh as-Sa’di, hal. 34-35 dan al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla oleh Kamilah al-Kiwari, hal. 102-104)
[3] Metode Pengambilan Tafsir
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dan pemberi arahan bagi mereka. Pada segala waktu dan masa ia akan tetap menunjukkan kepada kebaikan dan kebenaran. Oleh sebab itu, wajib bagi kaum muslimin untuk menerima dan mengambil pelajaran dari Kalam Allah sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu’anhum. Sesungguhnya para sahabat, apabila membaca kurang lebih sepuluh ayat, maka mereka tidaklah melampauinya kecuali setelah memahami keimanan, ilmu, dan amalan yang terkandung di dalamnya. Sehingga mereka pun mengejawantahkan kandungan ayat-ayat tersebut ke dalam realitas kehidupan. Apabila ayat itu berisi berita, maka mereka pun meyakini kebenarannya. Apabila ayat itu berisi perintah dan larangan, maka mereka pun menundukkan hawa nafsu mereka kepadanya. Mereka berusaha untuk menerapkan kandungan ayat-ayat tersebut kepada segala kenyataan dan kejadian yang mereka saksikan, baik yang mereka alami sendiri ataupun yang dialami oleh orang lain. Setelah itu, mereka berusaha berintrospeksi diri; apakah mereka sudah melaksanakan kandungan ayat-ayat tersebut dengan baik ataukah justru sebaliknya? Kemudian, mereka mencari cara untuk bisa konsisten melaksanakan amal-amal yang bermanfaat dan bagaimana cara agar bisa menyempurnakan kekurangan yang masih melekat pada dirinya. Mereka pun mencari cara untuk bisa terbebas dari hal-hal yang membahayakan dan mencelakakan dirinya. Dengan cara itulah para sahabat bisa memetik hidayah dari ilmu-ilmu yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Mereka berakhlak dengannya dan beradab dengan adab yang diajarkan olehnya. Mereka meyakini, bahwa al-Qur’an ini adalah ucapan dari Dzat Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib maupun yang tampak, suatu ucapan yang ditujukan oleh Allah kepada mereka, sehingga mereka tertuntut untuk memahami makna-maknanya dan mengamalkan ajaran-ajarannya. Inilah metode para sahabat dalam memahami tafsir (lihat al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu bi Tafsir al-Qur’an, hal. 17-18)
Abu Abdirrahman as-Sulami berkata, “Para sahabat yang mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain menuturkan kepada kami, bahwasanya dahulu apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidaklah melewatinya kecuali setelah mereka pelajari pula kandungan ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka berkata: Maka kami mempalajari al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus secara bersamaan.” (lihat Ushul fi at-Tafsir oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26)
[4] Hukum Menafsirkan Dengan Logika Belaka
Imam al-Qurthubi rahimahullah membawakan riwayat dari Imam Tirmidzi, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur’an dengan logikanya semata hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2951, beliau mengatakan: hadits hasan). Maksud dari hadits ini adalah; barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur’an -menafsirkan al-Qur’an- dengan mengemukakan suatu pendapat yang dia mengetahui bahwasanya kebenaran bertentangan dengan pendapatnya itu maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka. Namun, tidaklah termasuk dalam larangan ini siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan kompetensi ilmu syari’at yang dikuasainya, seperti penafsiran dari sisi bahasa, dari sisi ilmu nahwu, dari sisi fikih dan lain sebagainya yang berlandaskan pada kaidah-kaidah ilmiah, karena orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan landasan ilmu-ilmu tersebut tidaklah disebut sebagai orang yang menafsirkan al-Qur’an semata-mata dengan logika (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi rahimahullah [1/57-58])
[5] Haruskah Menguji Hadits Dengan al-Qur’an?
Para ulama membagi hadits dalam kaitannya dengan al-Qur’an menjadi 3 bagian:
- as-Sunnah al-Mu’akkidah, yaitu hadits-hadits yang serupa dengan muatan al-Qur’an dari segala sisi, seperti halnya wajibnya sholat karena hal itu telah terbukti berdasarkan dalil al-Kitab maupun as-Sunnah
- as-Sunnah al-Mubayyinah atau al-Mufassirah, yaitu hadits-hadits yang menjelaskan secara rinci sesuatu yang disebutkan secara mujmal/global oleh al-Qur’an
- as-Sunnah al-Istiqlaliyah atau az-Za’idah, yaitu hadits-hadits yang memberikan tambahan keterangan yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an, seperti mengharamkan sesuatu yang didiamkan hukumnya oleh al-Qur’an atau mewajibkan sesuatu yang didiamkan hukumnya oleh al-Qur’an (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 123 oleh Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani hafizhahullah)
Imam al-Qurthubi rahimahullah membawakan riwayat dari Abu Dawud dari al-Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuatu yang serupa dengannya bersamanya. Ketahuilah, hampir-hampir ada orang yang kekenyangan seraya berbaring di atas pembaringannya lalu dia mengatakan: Cukuplah kalian berpegang dengan al-Qur’an. Apa saja yang kalian temukan di dalamnya sesuatu yang halal maka halalkanlah. Dan apa saja yang kalian temukan di dalamnya sesuatu yang haram maka haramkanlah…” (HR. Abu Dawud no. 4604) (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/65])
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwasanya hadits tidak perlu diuji atau dibandingkan terlebih dulu dengan al-Kitab (al-Qur’an), karena hadits itu apabila ia telah terbukti keabsahan riwayatnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjadi hujjah dengan sendirinya.” Beliau berkata, “Adapun riwayat yang dibawakan oleh sebagian orang bahwa beliau bersabda: “Apabila datang kepada kalian suatu hadits maka ujilah ia dengan Kitabullah. Apabila ia sesuai dengannya maka ambillah. Dan apabila ia tidak cocok maka tolaklah ia.” Maka ini adalah hadits yang batil, tidak ada sumbernya sama sekali.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/66])
Kesimpulan:
- Dalam menafsirkan al-Qur’an harus memperhatikan penjelasan dari ayat dan hadits serta keterangan para ulama
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan tabi’in (salafus shalih) adalah generasi yang lebih memahami tafsir al-Qur’an daripada generasi sesudahnya
- Merenungi kandungan al-Qur’an akan membuahkan banyak manfaat dalam kehidupan
- Tujuan mempelajari al-Qur’an adalah untuk memetik kandungan ilmu, amal, dan iman
- Mempelajari al-Qur’an dilakukan secara bertahap
- Tidak boleh menafsirkan al-Qur’an semata-mata bermodal logika dan mengabaikan syari’at
- Hadits memiliki peranan yang sangat besar dalam menjelaskan dan memberikan keterangan tambahan terhadap hukum-hukum al-Qur’an